sejarah warisan,pengertian, hukum warisan

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup, mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hokum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hokum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.
Kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan lingkungannyaa. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hokum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli warisnya) yang dikenal dengan nama hukum mawaris. Dalam syari’at islam ilmu tersebut dikenal dengan nama fiqih mawaris atau faraid.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa saja yang berhak mendapatkan bagian harta warisn tersebut, beberapa bagian mereka masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiannya, serta di atur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah hukum waris ?
2.      Apa pengertian dari ilmu waris / fara’idh ?
3.      Apa saja dasar hukum waris ?
4.      Apa hukum mempelajari dan mengajar ilmu faraid atau waris ?

C.    Tujuan

1.      Supaya mahasiswa dapat mengetahui sejarah hukum waris
2.      Supaya mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari ilmu waris atau faraid
3.      Supaya mahasiwa dapat mengetahui apa saja dasar hukum waris
4.      Suapaya mahasiswa dapat mengetahui hukum mempelajari dan mengajar ilmu faraid atau waris .

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kewarisan Islam


Pada zaman jahiliyah, aturan pusaka orang arab didasarkan atas nasab dan kekerabatan. Namun terbatas kepada anak laki-laki yang sudah dapat memanggul senjata untuk membela kehormatan keluarga dan dapat memperoleh harta rampasan perang. Hal ini terus berlaku sampai permulaan islam, sampai turunnya surat An-Nisa’ ayat 7 yang menerangkan bahwa para lelaki memperoleh bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat terdekat. Dengan turunnya ayat tersebut terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pustaka bagi anak kecil dan perempuan.
Sistem warisan di zaman jahiliyah juga didasarkan atas sumpah dan perjanjian. Jika seseorang laki-laki berkata kepada temannya “darahku, darahmu, tertumpahnya darahmu berarti tertumpahnya darahku. Engkau menerima pustaka dariku, dan aku menerima pustaka darimu. Engkau menuntut belaku dan aku menuntut belamu”. Dengan ucapan ini mereka kelak menerima seperenam harta dari masing-masing. Yang selebihnya diterima oleh ahli waris. Sebagaimna yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 33 yang kemudian dimansukh dengan ayat-ayat mawaris, yaitu surat An-Nisa’ ayat 11, Al-Anfal ayat 75, dan Al-Ahzab ayat 6.  
Cara warisan lain di masa jahiliyah yang terus berlaku hingga permulaan islam adalah adopsi. Di zaman jahiliyah mengangkat anak orang lain sebagai anaknya dan dibangsakan kepadanya tidak lagi kepada ayah kandungnya dan anak itu menerima warisan dari orang tua angkatnya adalah perbuatan yang lazim, keadaan ini berlaku hingga turun surat Al-Ahzab ayat 4,5 dan 6. Dengan ayat itu lenyaplah adat jahiliyah yang memberikan pustaka kepada anak-anak angkatnya.[1]

B.     Pengertian Waris / Fara’idh


Kata waris berasal dari bahasa Arab, إرثا - يرث - ورث yang artinya mewarisi, sedangkan kata mawarist secara etimologi adalah bentuk jama’ dari kata tunggal mirats artinya warisan. Warisan juga disebut fara’idh bentuk jamak dari faridah, Kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. Kata faridah ini banyak juga disebut dalam Al-Qur’an Q.S, Al-Baqarah: 237 misalnya disebutkan “wa qad faradtum lahunna faridah fa nisf ma faradtum” artinya “padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan naharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.
Dengan demikian kara faraidl atau faridah artinya adalah ketentuan ketentuan tentang siapa-siapa termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.[2] Sedangkan dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak keberadaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.[3]
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1.      Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan
2.      Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bedannya (orang yang meninggal) baik secara haqiqi maupun hukmyah karena adanya penetapan pengadilan.
3.      Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, dan menunaikan wasiat.
4.      Warasah, adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5.      Tirkah, adalah seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, dan menunaikan wasiat.[4]

C.    Dasar-Dasar Hukum Waris/Fara’idh


Dasar-dasar hukum waris / fara’idh adalah:
1.      Al-Qur’an
a.      Surat An-Nisa’ ayat 11
1)      Bagian anak laki-laki dan perempuan (walad)
يُوصِيكُمُ الله في أوْلاَدِكُمْ  لِلذّكَرِ مِثْلُ خَظِّ الأنْثَيْينِ فاءِنْ كُنَّ نِساَءً فَوْق اثْنَتَيْنِ فاَلهُنَّ ثُلُثَا ماَتَرَكَ واءِنْ كَنَتْ وَاخِدَةً فَلهَا النِّصْفُ. (النِّسَاء۱۱)
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk anak-anakmu). Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak orang perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan . jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta. (Q.S. An-Nisa’ :11).[5]
Sahabat Zaid bin Tsabit r.a berkata, apabila laki-laki atau perempuan meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan maka bagiannya ⅟2 dan jika meninggalkan dua orang anak atau lebih bagian mereka ⅔.
Cucu anak laki-laki dari anak laki-laki disamakan dengan anak laki-laki jika jenazah tidak meninggalkan anak laki-laki. Dan cucu perempuan dari anak laki-laki disamakan dengan anak perempuan , jika jenazah tidak meninggalkan anak perempuan. Sebab kata walad mencakup anak, cucu, dan cicit. Sebagaimana kesepakatan ulama fiqih.
2)    Bagian orang tua (Bapak Ibu).

ولِأبَوَيْهِ  لِكُلِّ  وَاخِدٍ  مِنْهُمَا  السُّدسُ  مِمَا  تَرَكَ  ﺇنْ  كَانَ  لَهُ  وَلَدٌ  فاِنْ  لَمْ  يَكُنْ  لَهُ  وَلَدٌ وَوَرِثَهُ  أبوَاهُ  فَلأُمِّهِ  الثُلُثُ  فاءنْ  كَنَ  لَهُ  ﺇخْوةٌ  فَلأُمِّه  السُّدُسُ  مِنْ  بَعْدِ وَصِيّةٍ يُوْصِى  بِهَا أوْ دَيْنِ  آَباؤُكُمْ  لاتَدْرُوْنَ  أيُّهُمْ  أقْرَبُ  لَكُمْ  نَفْعًا  فَرِيضَةً مِنَ اللهِ ﺇِِِنَّ الله كاَنَ عَلِيْمًا خَكِيْمًا. (النِّسَاء۱۱)
Dan untuk dua orang ibuk bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan , jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam, (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah yang dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’:11).

b.      Surat An-Nisa ayat 12
1)    Bagian suami/duda
وَلَكُمْ نِصْفُ  ما تَرَكَ  أ زْوا جُكُمْ ﺇ نْ  لَم  يَكُنْ  لَهُنَّ  ولَدٌ  فاِن  كَنَ لَهُنَّ وَلدٌ فَلَكُمْ ا لرُّبُعُ  مِمَّا  تَرَكْنَ  مِنْ بَعدِ و صِيَّةٍ  يُوْ صِيْنَ بِهَا  أوْ دَيْنٍ (النِّسَاء۱٢)


Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak, jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnnya. (Q.S. An-Nisa’ : 12).[6]
2)      Bagian Janda atau beberapa janda.
وَ لَهُنَ ا لرُّ بُعُ إِ نْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فاِنْ كَنَ لكثمْ و لدٌ فَلَهُنَّ ا لثّمُنُ مِمَا تَرَ كْتُمْ مِنْ بَعْدِ و صِيَّةٍ تُوْ صُوْ نَ بِهَا أو دَينٍ  (النِّسَاء۱٢)  

Para istri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. (Q.S. An-Nisa’ :12)
3)      Bagian Saudara Seibu (laki-laki dan perempuan)

وإنْ كَنَ رَجُلٌ يُو رثُ كَلاَ لَةً أَوِ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلّ وا خِدٍ منهما السُّدُسُ فإن كَنُوْا أ كْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ في الثُّلُثُ مِنْ بَعْدِ وَصيّةٍ يُوصىَ بِهَا أو دَيْنِ غَيْرِ مُضَارِّ وَ صِيَّةً مِنَ اللهِ وا للهُ عَلِيْمٌ حَلِيمٌ. (النِّسَاء۱٢)  
Jika seorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisa’: 12).
c.       Surat An-Nisa’ ayat 176
Bagian saudara sekandung laki-laki dan perempuan.

يَسْتَفتو نكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ في الكلا لَةٍ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ له ولَدٌ وَلهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِ ثُهَا إِنْ لَمْ يكن لَهَا ولدٌ فإن كانَتَااثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تركَ وإن كانوا إخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَللِذَّ كَرِ مثْلُ خَظِّ الأُنثَييْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لكم أَنْ تَضِلُّوا واللهُ بكُلِّ شَيْءٍ عَليمٌ. (النِّسَاء ١٧٦ )
Mereka minta fatwa kepadamu tentang (kalalah). Katakanlah “ Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalala (yaitu) : jika seseorang itu meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduannya duapertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)  kepadamu, suapaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. An-Nisa’ : 176). [7]
2.      Al-Hadist
a.       Tata-tata cara membagi warisan. Penerima bagian pasti didahulukan setelah itu baru ‘ashabah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ألْخِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ"(رَوَاهُ البُخَارِى).
Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi SAW. Nabi SAW Bersabda: berikanlah bagian-bagian pasti kepada ahli waris yang berhak. Sesudah itu sisanya diutamakan (untuk) orang laki-laki (ashabah). (H.R al-Bukhari).
b.      Orang muslim tidak diperbolehkan mewaris harta peninggalan orang kafir dan sebaliknya.
وَعَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ " لايَرِثُ الُمسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ يَرِثُ الكافِرُ الُمسْلِمَ " (رَوَاهُ البُخَارِى).


Dari Usamah bin Zaid r.a. Rasulullah SAW. Bersabda “orangmuslim tidak berhak mmewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim”. (H.R. Imam Bukhari)
c.      Cucu perempuan mendapat bagian ⅟6 untuk melengkapi bagian ⅟2 yang diterima anak perempuan sehingga bagian anak perempuan dan cucu perempuan menjadi ⅔. Dan saudara perempuan sekandung sebagai ‘ashabah ma’al ghair’ jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.
وعن هُزَيْلٍ قال قال عبد اللهِ : لأَقْضِيَنَّ فيها بِقضاءٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : للأِبنتِ اللنّفصُ , وَلاِبنتِ الأبْنِ السُّدسُ وما بَقِيَ فَلِلأُخْتِ  (رَوَاهُ البُخَارِى).

Dari Huzail berkata, Abdullah berkata, saya pasti akan menghukumi masalah (pembagian harta peninggalan) sebagaimana Nabi saw. Menghukumi, untuk bagian anak perempuan setengah ⅟2 sedangkan sebiannya cucu perempuan adalah
6 , lalu sisannya diberikan pada saudara perempuan (sekandung/seayah). (H.R. Imam Bukhari).[8]
d.      Maksimal wasiat dan radd

وَعَنْ سَعْدِبْنِ أَبيْ وَقَاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُوْ لَ اللهِ أَنَا ذُوْمَالٍ ولايَرِثُنِ إلا ابْنَةٌ لِيِ واخدةٌ , أفَأتَصَدَّقُ بِثُلُثَي مَا لِي؟ قَالَ لا, قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثَطْرِهِ؟ قَالَ لا, قُلثُ أفَأتَصَدَّقُ بِثلُثِهِ ؟ قَالَ الثُّلُثُ كَثِيْرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَدَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءً خيرٌ مِنْ أَنْ تَدَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ (مُتَّفَقٌ عَليه)
Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra. Berkata aku berkata wahai rasul aku adalah orang kaya dan tidak mempunyai ahli waris kecuali seorang anak perempuan, bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku ? Rasul menjawab: jangan. Aku berkata: sepertiga? Rasul menjawab: sepertiga sudah banyak. Sesungguhnya bagimu akan lebih baik meninggalkan pewarismu kaya dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta belas kasihan kepada orang lain. (H.R. Bukhari Muslim).
Hadits selanjutnya lihat dalam beberapa hadits yang menjelaskan tentang pewarisan dalam lampiran.
3.      Al-Ijma’
Fuqaha’ sepakat saudara seibu dapat dihalangi oleh salah satu: anak laki-laki dan perempuan dan bapak dan kakek.
4.      Al-Qiyas
Menyamakan cicit perempuan dengan cicit perempuan dan cucu perempuan dengan anak perempuan.


D.    Hukum Mempelajari dan Mengajar Ilmu Fara’idh


Hukum mempelajari dan mengajar ilmu fara’idh adalah Fardhu’ain  yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud ra berkata : Rasulullah Saw. Bersabda : “ pelajarilah oleh kalian Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya aku adalah orang yang bakal terenggut (meninggal), sedangkan ilmu faraidh akan hilang. Hamper saja dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan tidak menjumpai seorang pun yang  dapat memberikan fatwa kepada mereka berdua” (H.R. Ahmad, An-Nasai dan Ad-Dar qutni)
Kata “ Ta’allamu dan allium al faraidh” menggunakan shighat ‘amr. Dalam kaidah ushul fiqh bentuk ‘amr pada yang diperintah adalah wajib. Dan juga dapat berhukum fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibeankan atas semua mukallaf. Namun, tolak ukurnya ada pada target capaian, bukan pada respon individu. Bila target beban sudah tercapai, dalam arti sudah dikerjakan oleh seseorang dari kelompok mereka, maka sebagian orang yang termasuk kelompok mereka dianggap cukup (kifayah)[9]




[1]  Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Pustaka Rozki Putra, Semarang, 2010.hlm.3.
[2] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris,:PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 2-3.
[3] Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia: CV Nuansa Aulia, Bandung, 1983. Hlm.13.  
[4] Ibid. hlm.5
[5] Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 7, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahnya: Toha Putra, Semarang, 1989.hlm.116.
[6] Ibid.,117
[7] Ibid .,153
[8] Syuhada’ Syarkun, Menguasai Ilmu Fara’idh, : Pustaka Syarkun, Jakarta, 2012, hlm. 4-6.
[9]  Ibid., hlm.6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tentang sedekah infaq wakaf dan wasiat

makalah haji dan tata caranya