makalah tentang sedekah infaq wakaf dan wasiat



MAKALAH FIQH IBADAH
SEDEKAH, INFAQ, WAKAF, DAN WASIAT

 

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu: Imam Khoirul Ulumuddin, M.Pd.I.



Disusun Oleh : Kelompok 09



1.      SITI KHARIROH                                    (166010045)
2.      M. ALI MACHSUN                    (166010119)





FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2017/2018

KATA PENGANTAR

 

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على امام المتقين سيدنا محمد خاتم النبيين وعلى اله واصحابه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين. اما بعد

            Segala puji bagi Allah SWT Rabb Semesta Alam, atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sedekah, Infaq, Wakaf, dan Wasiat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Ibadah.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Imam Khoirul Ulumuddin, M.Pd.I.
selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah yang senantiasa membimbing kami. Dan teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
            Besar harapan kami semoga makalah ini dapat membantu proses perkuliahan, menambah wawasan para pembacanya, dan mendapatkan nilai yang baik. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran dari para cerdik cendikia sangat kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah yang akan datang.




                                                                                    Semarang, 17 September 2017
                                                                       
Penyusun







DAFTAR ISI














BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

 

Harta merupakan titipan Allah SWT. yang pada hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya. Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya mempunyai aturan-aturan tuhan, baik dalam pengembangan maupun penggunaan.
Terdapat kewajiban yang dibebankan pada pemiliknya untuk mengeluarkan zakat untuk kesejahteraan masyarakat, dan ada ibadah Maliyah sunnah yakni sedekah dan infaq. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah SWT. maka setiap kita manusia wajib melaksanakan segala perintah Allah mengenai hartanya.

B.     Rumusan Masalah

 

Sesuai dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa Macam-macam Dari Sedekah?
2.      Apa Pengertian Dari Infaq?
3.      Apa Pengertian Dari Wakaf?
4.      Apa  Definisi dan Macam-macam Dari Wasiat?

C.     Tujuan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Agar Mahasiswa Dapat Mengetahui Apa Macam-macam Dari Sedekah.
2.      Agar Mahasiswa Dapat Mengetahui Apa Pengertian Dari Infaq.
3.      Agar Mahasiswa Dapat Mengetahui Apa Pengertian Dari Wakaf.
4.      Agar Mahasiswa Dapat Mengetahui Apa Definisi dan Macam-Macam Dari Wasiat.




BAB II
PEMBAHASAN


A.    SEDEKAH


1.      Sedakah Sunnah

Islam telah memerintahkan umatnya untuk bersedekah, sebagaimana firmah Allah:
“perumpamaan sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang dia kehendaki. Allah maha luas karunia-Nya lagi maha mengetahui.” (Al-Baqarah:261).
Firman-Nya yang lain:[1]
“Dan nafkakanlah sebagian dari harta kalian yang mana Allah telah menjadikan kalian menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kalian dan menafkahkan sebagian dari hartanya akan memperoleh pahala yang besar,” (Al-Hadid:7).
Di dalam surat yang lain, Allah juga berfirman:
“kalian sekali-kali tidak akan mendapatkan kebajikan (yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran:92).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah telah bersabda:

مامن يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقا خلقا ويقول الأخر اللهم أعط ممسكا تلفا [رواه مسلم]

“ Tidak satu hari pun yang dilalui oleh hamba Allah, kecuali ada dua orang malaikat turun kepadanya. Satu diantaranya berdo’a: ya Allah berilah ganti bagi orang yang telah menafkahkan hartanya di jalan-Mu. Sedangkan yang lainnya berdo’a: ya Allah berilah kerusakan atas harta orang yang enggan menafkakannya.” (HR. Muslim).
Rasulullah bersabda:

ان الصدقة لتطفئ غضب الرب وتدفع عن ميتة السوء [ رواه الترميذى]

“ sesungguhnya sedekah itu memadamkan murka Allah dan mencegah dari proses kematian yang menyesengsarakan.” (HR. At-Tirmidzi dan menurut beliau hadits ini berstatus hasan).

2.      Yang Berhak Menerima Sedekah

Hendaknya wanita muslimah mengetahui, bahwa yang berhak (utama) menerima sedekah adalah keluarga dan kaum kerabat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari jabir, di mana Rasulullah bersabda:
“ jika ada salah seorang di antara kalian yang fakir, maka hendaklah ia memulai dengan dirinya sendiri. Setelah ada kelebihan, maka hendaklah ia memberi keluarganya. Jika masih ada kelebihan juga, maka hendaklah memberi kepada kaum kerabatnya. Atau sabdanya: kepada orang disayangi dan jika ada kelebihan, maka di sini dan di sini.” (HR. Muslim).
            Beliau bersabda:

كفى با لمرء إثما أن يضيع من يقوت [رواه مسلم وأبو داود]

“ Cukuplah seseorang berdosa, jika ia membiarkan orang yang seharusnya diberikan makanan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).[2]
3.      Memberikan Sedekah Kepada Ibu

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “ Wahai Rasulullah, ssesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah akan bermanfaat jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: ya, maka ia pun berkata: Sesungguhnya aku mempunyai taman dan aku bersaksi kepadamu, bahwa aku menyedekahkannya untuk ibuku” (HR. Khamsah, kecuali Iman Muslim). Juga dari Sa’ad bin ‘Ubadah, ia menceritakan; aku pernah bertanya kepada Rasulullah  SAW: “ Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia. Apakah sedekah terbaik yang bisa aku lakukan untuknya?” beliau menjawab: Air. Lalu ia menggali sumur dan berkata: Sumur ini kusedekahkan untuk Ummu Sa’ad” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

4.      Seorang Wanita Berinfak dari Harta Suaminya

Dari Aisyah, dia menceritakan: Rasulullah bersabda:


إذا أنفقت المرأة من طعام بيتها غير مفسدة كان لها أجرها بما أنفقت ولزوجها أجره بما كسب وللخازن مثل ذلك لا ينقص بعضهم أجر بعض شيئا. [ رواه البخاري]

“ Apakah seorang wanita berinfak dari makanan yang berada di rumah-Nya, dengan tidak menghabiskannya, maka ia akan mendapatkan pahala atas apa yang diinfakkannya itu dan suaminya pun juga mendapatkan pahala atas usahanya mencari rezeki itu. Begitupula dengan pegawainya yang memasak juga mendapatkan pahala yang sama, di mana masing-masing tidak mengurangi pahala yang lain.” (HR. Al-Bukhari).[3]
            Dari Abu Ummah, ia menceritakan: aku pernah mendengar Rasulullah bersabda ketika berkhutbah pada pelaksanaan haji wada: “ Tidak diperbolehkan bagi wanita muslimah menginfakkan sesuatu pun dari rumah suaminya, kecuali dengan seizinnya. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, termasuk juga makanan? Beliau menjawab: Itu merupakan harta yang paling berharga.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau menghasankannya).
            Dari kedua hadits di atas dapat di Tarik sebuah pengertian, bahwasanya wanita muslimah tidak diperkenankan berinfak dari harta suaminya, kecuali dengan seizinnya.

5.      Sedekah dari Usaha yang Baik

Allah tidak menerima sedekah hamba-Nya kecuali dari hasil usaha yang baik. Sedangkan yang bersumber dari usaha yang tidak baik, maka tidak akan pernah diterima oleh-Nya. Sebagaimana dia telah berfirman:

“ Perkataan yang baik dan pemberian maaf adalah lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan si penerima. Allah maha kaya lagi maha penyantun.” (Al-Baqarah:263)
Dari Abu Hurairah, ia berkata; bahwa Rasulullah telah bersabda “ Barangsiapa bersedekah dengan sebutir kurma yang dihasilkan dari usaha yang baik, maka sesungguhnya dia akan menerima sedekah itu dengan tangan kanan-Nya. Lalu memeliharanya untuk orang yang bersedekah, seperti halnya seseorang di antara kalian yang memelihara anak kuda atau anak untanya, sehingga menjadi sebesar gunung uhud,” (HR. Al-Bukhari)[4]
Abu malih,  dari ayahnya, ia berkata: “Allah tidak menerima sedekah dari harta rampasan yang belum dibagi dan tidak juga sholat tanpa bersuci terlebih dahulu.” (HR. Abu Dawud dengan isnad shahih).

6.      Laranga Meminta-minta

Dari Abu Hurairah, ia menceritakan; aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

لأن يغدو أحدكم فيحبط على ظهره فيتصدق به ويستغني به من الناس خير له من أن يسأل رجلا أعطاه أو منعه ذلك فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى وابدأ بمن تعول [رواه البخارى و مسلم و التمذى]
“ Hendaklah salah seorang di antara kalian berangkat mencari kayu bakar dan meletakkannya di atas punggung lalu bersedekah darinya, sehingga dengannya ia tidak membutuhkan lagi pemberian dari orang lain adalah lebih baik daripada orang yang meminta kepada seseorang lalu diberi atau ditolak. Karena sesungguhnya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah dan hal itu mulailah dengan orang yang berada di bawah tanggunganmu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi)
Dari Samrah bin Jundud, ia bercerita; bahwa Rasulullah bersabda:
ان المسألة كد يكد بها الرجل وجهه إلا أن يسأل الرجل سلطانا أو فى أمر لا بد منه [رواه أبو داود والنسائى والترمذى]

“ Meminta-minta itu merupakan aib yang dicakarkan oleh seseorang kewajahnya sendiri. Kecuali orang yang meminta kepada penguasa atau dalam suatu urusan yang menjadi keharusan baginya." (HR. ”bu Dawud, An-Nasa’I dan At-Tirmidzi).[5]

7.      Dibolehkan Bersedekah dengan Seluruh Harta

Diperbolehkan bagi wanita muslimah bersedekah dengan seluruh hartanya. Umar bin Khathtab pernah berkata: “kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk bersedekah dan ini berkenaan dengan harta kekayaan yang aku miliki. Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakar dalam hal bersedekah. Maka Rasulullah bertanya kepadaku: apa yang engkau sisakan untuk keluargamu, wahai umar? Umar pun menjawab: Aku sisakan setengah dari harta yang aku miliki untuk keluargaku. Namun, ternyata Abu bakar pada saat itu menyerahkan seluruh dari hartanya untuk disedekahkan. Beliau pun bertanya: Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar? Abu Bakar pun menjawab, Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan rasulnya. Maka aku (Umar) berkata: sekali-kali aku tidak akan dapat mengalahkanmu, wahai Abu Bakar, kapanpun.” (HR. Abu Dwud, At-Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya).

8.      Yang Menghilangkan Pahala Sedekah

Diharamkan bagi wanita Muslimah menyebut-nyebut nama orang yang menerima sedekah darinya, hingga menyakiti perasaan orang tersebut atau dengan berbuat riya’ dihadapan orang banyak. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT.

“ wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya, seperti halnya orang yang menafkahkan hartanya karena perasaan riya’ kepada manusia.” (Al-Baqarah: 264)
Rasulullah bersabda:

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال أبو ذر رضي الله عنه خابوا وخسروا من هم يا رسول الله؟ قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب [رواه أحمد و مسلم وأبو داود والنسائى والدرامى]

"  Ada tiga golongan yang pada hari kiamat kelak Allah tidak mengajak mereka bicara, tidak melihat mereka, tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Sungguh merugi mereka itu, lalu ia bertanya: siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, orang yang menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan, dan orang yang menginfakkan hartanya dengan sumpah palsu.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’I dan Ad-Darimi).[6]

B.     Infaq


Infaq ini berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Jika zakat zakat tadi harus mencapai nisab ( atau batasan tertentu) untuk mengeluarkannya, infaq ini tidak memiliki batasan, jadi sifatnya sukarela berapapun. Infaq ini dikeluarkan oleh siapapun, baik orang yang memiliki harta berlebih maupun orang yang berkecukupan (QS. Ali Imran: 134).

C.    Wakaf


Kalau dari segi bahasa, wakaf artinya menghentikan atau menahan. Dalam arti luas, wakaf ini berarti membekukan hak milik terhadap harta atau benda tertentu untuk kepentingan umum. Ketentuan dalam berwakaf adalah memberikan sesuatu yang tidak ada habisnya (tidak boleh dijual). Misalnya untuk wakaf ini adalah memberikan Al-Qur’an kepada masjid-masjid yang membutuhkan.




D.    WASIAT

 

1.      Definisi Wasiat

      Wasiat berarti pesan, baik berupa harta maupun lainnya. Sedangkan menurut syari’at, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia.

2.      Disyari’atkannya Wasiat

Wasiat telah disyari’atkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Allah telah berfirman:
“ Diwajibkan atas kalian, apabila seseorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180).

3.      Hukum Wasiat

Di antara yang mewajibkan wasiat ini adalah Atha’, Az-Zuhri, Abu Majas, Thalhah bin Musharrif, dan lain-lainnya. Hal yang sama juga diceritakan Imam Baihaqi dari Imam Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Qodim. Pendapat tersebut juga dikemukakan Imam Ishaq, Dawud, Abu Qadhi dan Ibnu Jarir. Sedangkan jumhur Ulama berpendapat bahwa wasiat adalah sesuatu yang sunnah dan bukan wajib.

4.      Tidak Diperbolehkan Wasiat Yang Mengandung Bahaya

      Wasiat yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang membahayakan bagi ahli waris sama sekali tidak diperbolehkan (haram). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
      Rasulullah bersabda:

إن الرجل ليعمل ولمرأة بطاعة الله ستين سنة ثم يحضرهما الموت فيضاران فى الوصية فتجب لهما النار ثم قرأ علي أبو هريرة [من بعد وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من الله ] إلى قوله [ذلك الفوز العظيم ] {رواه أبو داود والترمذي}

“ seorang laki-laki atau perempuan yang senantiasa berbuat taat (ibadah) kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian menemui ajalnya, lalu berwasiat dengan sesuatu yang mengandung  mudharat, maka diwajibkan baginya masuk neraka. “[7] selanjutnya Abu Hurairah membacakan ayat, “sesudah dipenuhi wasiat yang di buat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah”, hingga pada firman-Nya, “ Itulah kemenangan yang besar.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

5.      Tidak Ada Wasiat bagi Ahli Waris

Wasiat itu diperbolehkan bagi ahli waris. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Kharijah, di mana dia pernah mendengar Rasulullah SAW, bersabda:

إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث [رواه أحمد وابن ماجه والنسائى والترمذي]

“ sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada tiap-tiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasa’I, dan At-tirmidzi. Dia menghasankan hadits ini).
Jumhur ulama telah berpegang pada pendapat tersebut. Menurut Imam Malik: “yang disunnahkan dan sudah tidak diperdebatkan lagi adalah bahwasanya tidak ada wasiat bagi ahli waris, kecuali jika para ahli waris membolehkannya.”

6.      Membayar Utang Terlebih Dahulu Sebelum Wasiat

Yang lebih afdhal adalah membayar utang terlebiih dahulu sebelum wasiat. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Nabi membayar utang terlebih dahulu sebelum berwasiat, sedangkan kalian memberikan wasiat sebelum membayar utang.” (HR. At-Tirmidzi).

7.      Berwasiat dengan Sepertiga Harta Milik

Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya, dia menceritakan: “pada waktu pembebasan kota Makkah atau pernah jatuh sakit yang hampir menyebabkan kematianku. Lalu Rasulullah menjengukku, maka aku katakan: “ wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta kekayaan yang cukup banyak dan tidak ada [8]yang mewarisinya kecuali seorang anak perempuanku, apakah aku harus mewasiatkan seluruh hartaku? “ tidak, ‘jawab Rasulullah. Kemudian aku menanyakan kembali: ‘ apakah setengahnya? ‘ Beliau menjawab: “Tidak.’ ‘sepertiga?’ beliau menjawab: ‘ya, sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan kesulitan dengan meminta-minta kepada orang lain. Kamu tidak akan menafkahkan suatu nafkah melainkan kamu mendapat pahala lantaran nafkahmu itu, sampai sesuap makanan yang kamu masukkan kemulut istrimu. ‘ kemudian aku katakana: ‘ wahai Rasulullah, apakah aku terlambat dari hijrahku? Beliau menjawab: ‘sesungguhnya kamu tidak tertinggal sehingga para kaum ( orang-orang kafir ) menderita kerugian karenamu. Ya Allah, sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku, dan janganlah kamu kembalikan mereka ke belakang ( kepada kekufuran). Tetapi yang sial adalah Sa’ad bin Khaulah, di mana Rasulullah menangisinya karena dia meninggal di makkah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).

8.      Disunnahkan Memberikan Wakaf atau Wasiat Kepada Kaum Kerabat

Tsabit pernah meriwayatkan dari Annas bin Malik, di mana Rasulullah pernah bersabda kepada Abu Thalhah: “ berikanlah ( wakaf atau wasiat ) itu kepada orang-orang fakir dari kaum kerabatmu. “ maka Abu Thalhah pun memberikannya kepada Hasan dan Ubai bin Ka’ab.

9.      Wasiat dari Seorang Anak yang Berakal

Abu bakar mengatakan: “ Tidak ada perbedaan di antara pendapat-pendapat yang ada, bahwa wasiat seorang anak yang sudah berumur sepuluh tahun sah. Dan wasiat anak yang berumur di bawah tujuh tahun tidak sah.

10.  Wasiat Orang yang Ideot

Imam Ahmad mengatakan: “ wasiat orang ideot tetap sah, karena kedudukannya sama dengan seorang anak kecil yang berakal. “ sedangkan menurut Abu Al-Khathtab, mengenai wasiat orang ideot ini ada dua pandangan:
      Pertama: wasiatnya tidak sah, karena dia seorang yang tidak memahami apa yang dilakukannya, sehingga wasiatnya menyerupai hibah.
      Kedua: wasiatnya sah, karena dimaksudkan untuk menjaga hartanya, dan dalam wasiatnya tersebut bukan merupakan tindakan membuang hartanya, karena jika hidup harta tersebut masih tetap menjadi haknya, dan jika meninggal dunia, maka orang yang di beri wasiat tersebut hanya sekedar mendapatkan upah atas penjagaan harta itu.[9]

11.  Memberikan Wasiat kepada Anak yang Masih Dalam Kandungan

Baha’uddin Al-Maqdisi mengatakan: “ pemberian wasiat kepada anak yang masih dalam kandungan adalah jika diketahui keberadaannya dalam kandungan pada waktu pemberian wasiat tersebut. Sedangkan untuk mengetahui kepastian dari keberadaannya tersebut adalah dia dilahirkan ibunya kurang dari enam bulan sejak waktu pengucapan wasiat tersebut, jika ibu yang mengandungnya itu masih bersuami atau ada tuannya yang menghamilinya. Kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai sahnya pemberian wasiat kepada anak yang masih dalam kandungan. Karena, wasiat itu lebih luas daripada waris, disamping itu, juga karena wasiat dibenarkan untuk diberikan kepada orang kafir dan juga hamba sahaya. Apabila anak yang masih dalam kandungan juga berhak mendapatkan warisan, maka untuk mendapatkan warisan dia harus lebih diutamakan. Dan jika sang bayi dilahirkan dalam keadaan mati, maka wasiat tersebut tidak sah.”

12.  Wasiat Para Sahabat

Para sahabat juga pernah memberikan wasiat dengan sebagian harta kekayaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

13.  Syarat- syarat Bagi Orang yang Menerima Wasiat

a.       Berkedudukan sebagai ahli waris dari pihak pemberi wasiat.
b.      Orang yang menerima wasiat harus benar-benar ada pada waktu pemberian wasiat baik melalui kepastian maupun perkiraan. Yang demikian ini merupakan pendapat para ulama penganut madzab hanafi.
c.       Orang yang menerima tidak diperbolehkan membunuh orang yang memberi wasiat secara langsung ( dengan maksud agar segera mendapatkan wasiat tersebut). Menurut pendapat Abu Yusuf: “ jika orang yang menerima wasiat itu membunuh orang yang memberi wasiat secara langsung, maka wasiatnya tersebut batal, karena orang yang yang ingin segera mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, diberikan sanksi berupa pengharaman mendapatkannya.

14.  Syarat-syarat Barang yang Diwasiatkan

Yaitu, bahwa barang yang diwasiatkan tersebut dapat dimiliki setelah meninggalnya orang yang memberikan wasiat, dengan sebab apapun.

15.  Ukuran Harta yang Disunnahkan untuk Diwariskan

Ibnu Abdil Barr mengatakan: “ para ulama salaf berbeda pendapat mengenai ukuran harta yang disunnahkan untuk diwasiatkan atau diwajibkan bagi yang mempunyai kewajiban untuk itu.

16.   Kapan Suatu Wasiat itu Batal?

Suatu wasiat itu batal jika orang yang menerima wasiat itu meninggal lebih dahulu sebelum orang yang memberi wasiat, atau orang yang memberi wasiat tersebut gila sampai menemui ajalnya. Atau jika apa yang diwasiatkan itu rusak atau binasa sebelum sampai ke tangan orang yang menerima wasiat.

17.  Yang Boleh diberi Wasiat

Wasiat itu boleh diberikan kepada setiap orang. Muslim yang berakal dan adil, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu wasiat yang boleh dilakukan oleh si pembuat wasiat, misalnya membayar utang serta mengrus urusan anak-anaknya.

18.  Memberikan Wasiat kepada Wanita

Baha’uddin Al-Maqdisi mengatakan: “ menurut kebanyakan ulama, dibenarkan memberikan wasiat kepada wanita. Hal itu didasarkan pada apa yang telah dilakukan Umar yang memberikan wasiat kepada Hafshah, selain karena wanita juga dapat memberikan kesaksian seperti halnya orang laki-laki.
19.  Tidak Diperbolehkan Memberikan Wasiat kepada Orang Fasik

Orang fasik tidak dibenarkan diberi wasiat. “ demikian dikatakan Baha’uddin Al-Maqdisi. Sedangkan Al-Kharaqi mengatakan: “ jika yang diberi wasiat sebagai orang yang berkhianat, maka ia dimasukkan dalam golongan orang yang dapat dipercaya, karena dia sebagai orang yang berakal dan baligh. Sehingga pemberian wasiat kepadanya tetap sah sebagaimana seorang yang adil, selain karena itu sebagai orang yang mempunyai hak berbuat dan melakukan pengawasan. Dan dimungkinkan dia mendapatkan wasiat dengan syarat harta wasiat itu dijaga oleh seorang yang dapat dipercaya.





















BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN


Islam telah memerintahkan umatnya untuk bersedekah, sebagaimana firmah Allah:
“perumpamaan sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang dia kehendaki. Allah maha luas karunia-Nya lagi maha mengetahui.” (Al-Baqarah:261).
Infaq ini berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Jika zakat zakat tadi harus mencapai nisab ( atau batasan tertentu) untuk mengeluarkannya, infaq ini tidak memiliki batasan, jadi sifatnya sukarela berapapun. Infaq ini dikeluarkan oleh siapapun, baik orang yang memiliki harta berlebih maupun orang yang berkecukupan (QS. Ali Imran: 134).
Kalau dari segi bahasa, wakaf artinya menghentikan atau menahan. Dalam arti luas, wakaf ini berarti membekukan hak milik terhadap harta atau benda tertentu untuk kepentingan umum. Ketentuan dalam berwakaf adalah memberikan sesuatu yang tidak ada habisnya (tidak boleh dijual). Misalnya untuk wakaf ini adalah memberikan Al-Qur’an kepada masjid-masjid yang membutuhkan.
Wasiat berarti pesan, baik berupa harta maupun lainnya. Sedangkan menurut syari’at, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia.

B.     SARAN


Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya. Karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.


DAFTAR PUSTAKA

 

Uwaidah, Kamil Muhammad. (1998). Fiqih Wanita. Pustaka Al-Kausar: Jakarta
Sunarto, Achmad. (2008). Dasar-dasar Fiqih Islam. Husaini: Bandung
Annullah, Indi. (2008). Ensiklopedia Fiqih Untuk Remaja Jilid 2. Pustaka Islam Madani: Yogyakarta
Al-habsy, Muhammad baqir. (1999). Fiqih Praktis. Mizan: Bandung


































[1] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wnita, Pustaka Al-Kausar, Jakarta, 1998, halm. 318.
[2] Ahmad Sunarto, Dasar-dasar Fiqih Islam, Husaini, Bandung, 2008, halm. 67.
[3] Muhammad Baqir Al-Habsy, Fiqih Praktis, Mizan, Bandung, 1999, halm. 116.
[4] Ahmad Sunarto, Dasar-dasar Fiqih Islam, Husaini, Bandung, 2008, halm. 96.
[5] Ibid 123
[6] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wnita, Pustaka Al-Kausar, Jakarta, 1998, halm. 330.

[7] Ibid 316
[8] Indi Aunullah, Ensiklopedia Fiqih Untuk Remaja Jilid 2, Pustaka Insan, Yogyakarta, 2008, hlm. 74.
[9] Ibid 80

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah haji dan tata caranya