pembagian ahli waris
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam al-Qur’an
banyak sekali sumber- sumber dasar hukum islam baik itu sholat, zakat, haji dan
lain-lain, dalam al-qur’an juga memuat hukum / mengatur hukum tentang pembagian
harta bagi ahli waris. Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan
mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab
semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi
seperti yang disebutkan dalam pasal 173.
Meskipun
demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat mewarisi harta
peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal 173 telah terpenuhi.
Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati dan ada juga
yang hubungannya lebih jauh dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris
harus mengingat urutannya masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta
warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat
hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris
karena dari garis keturunan perempuan (dzawil arham). Apabila dicermati, hukum
waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli
waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena
adanya hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan
antara pewaris dengan ahli waris.
2. Ahli
waris sababiyah, yaitu: hubungan kewarisan yang timbul karena sebab
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pembagian harta kepada ahli waris inti ?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa
tahu Pembagian harta pada ahli waris inti?
a.
BAB II
Pembahasan
A. Bagian Ayah Dalam Hukum Waris
1. Besar Bagian Ayah Menurut Fiqh Mawaris/Fara’idl
Secara etimologi kata farâidl yang sebagai jamak dari lafad farîdlah yang berarti perlu atau wajib dengan makna maf‟ul (objek), yang berarti sesuatu yang ditentukan
jumlahnya. Menurut istilah disebutkan “hak-hak kewarisan yang dijumlahkannya
telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi”[1].
Hak-hak ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam
pada dasarnya dinyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti,
yang dinyatakan dalam
al-Qur‟an, sebagai sumber
utama Hukum Kewarisan Islam.
Para ulama menamakan hukum tentang pembagian warisan dengan farâidl karena menurut angka yang pasti
biasanya disebut dalm kitab-kitab dengan farîdlah dengan bentuk jama‟ farâidl”. Bila ahli waris tidak termasuk
dalam angka tersebut maka jumlah mereka tidaklah banyak[2].
Dalil bahwasanya ayah mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia
mewaris bersama far‟ul waris (anak
laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan
pancar laki-laki). Allah
berfirman:
Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak. (QS. An-Nisaa‟
(4) ayat 11).[3]
Ayah mendapat „ashabah apabila tidak ada far‟ul warits
berdasarkan firman Allah:
dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga. (QS. An-Nisaa‟
(4): 11).70
Ayat di atas menetapkan bagian ibu dan ayah
ketika ada anak mayat, yaitu
1/6. Dan jika tidak ada anak, maka seluruh harta menjadi milik ibu-ayah. Ayat
di atas menyebut bagian ibu 1/3, tetapi tidak menyebut bagian ayah, maka dapat
kita fahami bahwa sisanya (2/3) adalah bagian ayah. Oleh karena itu ia
mewarisinya sebagai „ashabah.[4]
2.
Besar
Bagian Ayah Menurut BW
Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata
Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh
karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang
merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum
publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan
diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari
hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.[5]
Menurut Pitlo
yang dikutip oleh Suparman menggambarkan rumusan hukum waris, bahwa hukum
waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu:
“Hukum
waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karna
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh
si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar
mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.”[6]
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas
bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.[7]
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga
yang menjadi ahli waris, yaitu: istri
atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang-undang atau ahli waris ab
intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan yaitu:
a.
Golongan pertama, keluarga dari garis lurus ke bawah, meliputi
anak- anak beserta keturunan mereka beserta suami atau istri yang
ditinggalkan/atau yang hidup paling lama. Suami atau istri yang
ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun
1935, sedangkan sebelumnya suami/istri tidak saling mewarisi;
b.
Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi
orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka.
Bagi orang tua ada peraturan khusus
yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian
dari harta peninggalan, walaupun mereka mewarisi bersama-sama saudara pewaris;
c.
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris;
d.
Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam
Sedangkan bagian ayah terdapat dalam BW pasal
854 yang berbunyi:
“Apabila
seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau
istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapatkan sepertiga dari warisan, jika si
meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau perempuan, yang
mana mendapatkan sepertiga selebihnya.
Si bapak
dan si ibu masing-masing mendapatkan seperempat, jika Si meninggalkan lebih
dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian
selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu.”[8]
3.
Besar
Bagian Ayah Menurut KHI
Setiap
kelompok masyarakat di dunia ini tentu mempunyai sifat kekeluargaannya sendiri
yang biasanya sangat berpengaruh terhadap sifat kewarisan dalam masyarakat itu.
Demikian pula pada masyarakat Islam di Indonesia
di mana hukum Islam telah memberikan bimbingan tentang tata kehidupan keluarga
muslim. Tata kehidupan keluarga muslim di Indonesia
pada umumnya bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip keluarga yang
mempertimbangkan hubungan kekerabatan baik melalui jalur pria maupun wanita
secara serentak. Hal ini membawa pengaruh pula terhadap kebutuhan hukum
kewarisan yang bersifat bilateral. Memang
antara hukum perkawinan dengan hukum kewarisan merupakan satu sistem hukum yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat mata uang dengan dua sisinya.[9]
Oleh sebab itu, hukum kewarisan Islam yang
dikembangkan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hukum kewarisan yang sejalan
dan serasi dengan sifat-sifat hukum perkawinan yang bersifat bilateral. Itulah
sebabnya maka hukum kewarisan dalam KHI mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai
berikut:
1.
Pada garis besarnya, KHI sama dengan fiqih
sunny (farâidl ahlusunnah) yang
selama ini diajarkan di Indonesia. Kemudian dengan fiqih sunny, yakni
norma-norma syari‟ah yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan
Al-Sunnah oleh KHI
diadakan pembaharuan pola, yakni dari pola kewarisan
patrilinial menjadi pola
kewarisan bilateral seuai dengan pola hukum kewarisan Islam yang hidup di Indonesia.
2.
Jenis dan kelompok ahli waris disederhanakan
dan disesuaikan dengan struktur keluarga muslim di Indonesia yang bilateral,
serta masih menggunakan istilah dzawil arham
meskipun tidak disebutkan dalam KHI namun tetap diakui keberadaannya dan
mereka tetap ahli waris sesuai dengan posisinya masing-masing.Berdasarkan skala prioritas untuk mewarisi, ahli
waris dikelompokan menjadi empat, yaitu:
a.
Ahli waris utama (yaitu anak laki-laki dan anak
perempuan, termasuk di sini ahli waris pengganti ahli waris utama, yakni cucu
pewaris);
b.
Ahli waris inti (yaitu anak, ayah, ibu, dan
janda/duda, termasuk di sini ialah ahli waris wasiat wajibah).
c.
Ahli waris lengkap (yaitu mereka ini ditambah
saudara laki-laki dan perempuan, kakek, nenek, paman dan bibi); dan
d.
Ahli waris pengganti lainnya (yaitu kemenakan
pewaris dan lain- lainnya).
3.
Berdasarkan kepastian besarnya porsi (bagian)
yang diterima, ahli waris dikelompokan menjadi lima, yaitu:
a.
Ahli waris „ashabah
(yaitu yang menerima bagian seluruhnya dari sisa harta warisan yang telah
diambil oleh ahli waris inti atau dzawi
al-furûdl).
b.
Ahli waris dzawi
al-furûdl (yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur‟an).
c.
Ahli waris dzawi
al-arhâm (yaitu ahli waris yang besarnya bagian ditetapkan berdasarkan
ijtihad karena tidak ditetapkan dalam Al- Qur‟an dan Al-Sunnah).
d. Ahli wais pengganti (yaitu ahli waris yang besarnya
bagian ditetapkan berdasarkan hak ahli waris yang digantikan kedudukannya itu,
dengan ketentuan tidak boleh melebihi besarnya
dari bagian ahli waris lain yang sejajar dengan yang digantikannya itu).
e.
Ahli waris wasiat wajibah (yaitu ahli waris yang hak
mewarisinya ditetapkan berdasarkan wasiat wajibah, dengan ketentuan bahwa
bagian ahli waris wasiat wajibah ini tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan). Jenis ahli waris yang tidak
disebutkan dalam KHI (termasuk di sini kelompok ahli waris yang dalam ilmu
fiqih disebut dzawi al-arhâm)
tetap diakui keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk sebagian (yakni cucu
dan keponakan pewaris) ditampung sebagai ahli waris pengganti dengan penetapan
yang luwes dan fleksibel.
4.
Diadakan ijtihad baru untuk menampung kebutuhan hukum
dimasayarakat mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur‟an
dan al-Sunnah, misalnya tentang anak angkat, cucu dari anak perempuan, bagian ayah bila mewarisi bersama ibu dan
suami (duda), dan sebagainya dengan mengambil dan menerapkan nilai-nilai hukum
yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah.
5.
Prinsip pembagian waris dengan menggunakan
teknik „aul dan radd tetap dipertahankan dengan menerapkan radd secara mutlak kepada ahli waris dzawi al-furûdl (pasal 193 KHI).
6.
Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji
ulang dan ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat
serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syari‟ah Islam sehingga dapat membawa pembaharuan hokum kewarisan di Indonesia
yang:
a.
selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,
b.
mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern
sesuai dengan teori ilmu hukum, administrasi dan manajemen,
c. dapat
menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban dan
ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran dan
keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri di
bawah naungan dan ridla Ilahi.
7.
Karena diyakini bahwa hukum keluarga yang
hendak dituju oleh al- Qur‟an dan al-Sunnah ialah hukum keluarga yang bersifat bilateral baik dalam bidang perkawinan
maupun kewarisan maka hukum kewarisan dalam KHI
pun ingin memberikan arah kepada kewarisan yang bersifat bilateral sebagaimana dikehendaki oleh syari‟ah
Islam.
8.
Teori hukum kewarisan bilateral yang dirintis
oleh Prof. Hazairin telah banyak mempengaruhi perumusan hukum dalam KHI. Namun
demikian, tidak sepenuhnya teori tersebut harus diikuti seluruhnya karena
perumusan hukum kewarisan dalam KHI selalu diselaraskan dengan induknya, yaitu
hukum kekeluargaan yang dianut di Indonesia.
B.
Besar
Bagian Ahli Waris
a.
Anak laki-laki
Dalam fiqh anak laki-laki mendapatkan sisa
harta („ashabah) jika bersama
siapapun[10].
Sedangkan dalam KHI, bagian anak laki-laki tidak jauh berbeda dalam fiqh yaitu mendapatkan sisa harta
(„ashabah).[11]
Dan di dalam BW
anak, baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan dan
kedudukannya disamakan dengan istri atau suami yaitu mendapatkan setengah
bagian (Pasal 852a).
Dalam keluarga yang menganut sistem patrilineal
semua anak laki- laki berhak mewarisi
seluruh harta kekayaan.
Sedangkan dalam keluarga yang menganut sistem bilateral, tidak ada perbedaan
bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan.[12]
b.
Anak perempuan
Dalam fiqh anak
perempuan mendapatkan setengah bagian apabila tidak bersama anak laki-laki atau
tidak ada anak perempuan lainnya. Jika ada anak laki-laki maka mendapatkan „ashabah dengan ketentuan 2 banding 1,
jika bersama dengan anak perempuan lainnya maka mendapatkan 2/3.
Dalam KHI anak
perempuan bila seorang diri mendapatkan 1/2, jika berdua atau lebih mendapatkan
2/3, dan jika bersama dengan anak laki-laki maka mendapatkan „ashabah dengan ketentuan bagian anak laki-
laki adalah 2 banding 1 dengan anak perempuan (Pasal 176).
Dalam BW, besarnya
bagian sama dengan anak laki-laki dan perempuan. Karena tidak ada perbedaan
diantara keduanya (Pasal 852a). Sedangkan dalam keluarga yang menganut sistem
bilateral tidak ada perbedaan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan.
c.
Duda
Dalam fiqh duda mendapatkan ½ apabila tidak
memiliki keturunan, dan jika memilik keturunan maka ia mendapatkan 1/4 bagian[13].
Dalam KHI bagian duda sama halnya dengan bagian
duda dalam fiqh yakni duda mendapatkan ½ bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan duda mendapatkan ¼ bagian bila meninggalkan anak (Pasal 179).
Sedangkan dalam BW, duda mendapatkan bagian
sama dengan bagian anak (Pasal 852a dan 852b). Dan dalam keluarga yang menganut
sistem bilateral, duda mendapatkan 1/8 jika ada anak, dan jika tidak terdapat
anak duda mendapatkan semua harta.
d.
Janda
Dalam fiqh janda atau 2 janda atau lebih
mendapatkan ¼ jika tidak mempunyai keturunan. Bila ada keturunan, janda
mendapatkan 1/8 bagian. Dalam KHI sama halnya dalam fiqh berdasarkan pasal 180
KHI.
Sedangkan dalam BW, janda mendapatkan bagian
sama dengan bagian anak (Pasal 852a dan 852b). Dan dalam keluarga yang menganut
sistem bilateral, duda mendapatkan 1/8 jika ada anak, dan jika tidak terdapat
anak duda mendapatkan semua harta.
e.
Bapak
Dalam fiqh bapak mendapatkan „ashabah jika tidak ada keturunan,
sedangkan jika ada keturunan laki-laki, bapak mendapatkan 1/6 bagian. Jika ada
keturunan perempuan, bapak mendapatkan 1/6 dan „ashabah.
Dalam KHI bapak
mendapatkan 1/3 bagian bila pewaris tidak medapatkan anak akan tetapi
meninggalkan suami dan ibu. Dan apabila ada anak bapak mendapatkan 1/6 bagian
(Pasal 177).
Dalam BW, bapak dan ibu mendapatkan 1/3 jika tidak ada
anak, maupun suami atau istri dan hanya ada saudara laki-laki atau perempuan.
Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka bapak dan ibu
mendapatkan ¼ bagian (Pasal 854 dan 855) Sedangkan jika seorang meninggal
dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan, maupun suami atau istri, sedangkan
bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau si bapak
mendapatkan ½ dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara
perempuan atau laki-laki, mendapatkan 1/3 bagian jika meninggalkan dua saudara
laki-laki atau perempuan, dan mendapatkan ¼ bagian jika lebih dari saudara
laki-laki atau perempuan (Pasal 855 BW). bapak atau ibu yang hidup terlama
mendapatkan seluruh harta jika tidak da keturunan, suami/istri dan saudara
(pasal 859 BW).
Dalam sistem patrilineal, bapak mendapatkan
seluruh harta warisan bersama ibu dan saudara-saudara sekandung jika tidak ada
anak laki-laki atau anak angkat.
f.
Ibu
Dalam fiqh ibu mendapatkan 1/3 bagian jika
tidak ada keturunan dan tidak ada dua saudara atau lebih baik kandung, seayah
maupun seibu. Jika ada salah satu dari dua hal tersebut maka ibu mendapatkan
1/6 bagian, kecuali jika ibu bersama bapak dan suami atau istri maka ibu
mendapatkan 1/3 sisa.
Dalam KHI ibu mendapatkan 1/6 bagian jika ada
anak atau dua saudara/lebih. Bila tidak ada maka ibu mendapatkan 1/3 bagian.
Ibu mendapatkan
1/3 bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah (Pasal 178).
Dalam BW, bapak dan ibu mendapatkan 1/3 jika
tidak ada anak, maupun suami atau istri dan hanya ada saudara laki-laki atau
perempuan. Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka bapak
dan ibu mendapatkan ¼ bagian (Pasal 854 dan 855). Sedangkan jika seorang
meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan, maupun suami atau istri,
sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau
si bapak mendapatkan ½ dari warisan jika Si meninggal hanya meninggalkan
seorang saudara perempuan atau laki-laki, mendapatkan 1/3 bagian jika
meninggalkan dua saudara laki-laki atau perempuan, dan mendapatkan ¼ bagian
jika lebih dari saudara laki-laki atau perempuan (Pasal 855 BW). bapak atau ibu
yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta jika tidak da keturunan,
suami/istri dan saudara (pasal 859 BW).
Dalam
sistem patrilineal, ibu baru mendapatkan seluruh harta warisan bersama bapak dan
saudara-saudara sekandung jika tidak ada anak laki-laki atau anak angkat.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dengan adanya ilmu waris /Faroid dalam agama islam dapat
memudahkan kita membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
ahli waris terdekat atau ahli waris inti, dalam ilmu waris juga terdapat
bagian- bagian terhadap semuah ahli waris inti terhadap kerabat yang di
tinggalkan. Oleh karena harus di lihat terlebih dahulu status- status yang di
sandang oleh ahli waris inti apakan sang ahli waris memiliki anak ataukah tidak,
Dikarenakan status juga mempengaruhi
dalam pembagiannya.
B. Saran
Terhadap para cendekiawan yang membaca makalah fiqih
mawaris ini apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam makalah ini kami selaku
peulis memohon maaf, Demikianlah
makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada
kekeliruan dalam penyusunan kami mohon kritik dan saran yang membangun, supaya
lebih baik kedepannya.
Daftar Pustaka
Emman Suparman
“Hukum Waris Indonesia”,Bandung:Refika Aditama,
2018
Ahmad Yusuf Muhammad Al Ahdal “I‟anatul Ath-tholib fi Bidayati Ilmi Al-Faraidl”, (Makkah:
Mathobi‟ Al Hamidl, cetakan ke-2).
Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Tahun
1999/2000).
Subekti, R. Tjitrosudibio “Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”, (jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004),
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata “Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997).
Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Juz 4;
SYAMIL QUR’AN, Bandung; 2007
[1]Suparman
Usman dan Yusuf Somawinata “Fiqh Mawaris,
Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 13.
[2] Somawinata “Fiqh Mawaris”
[3] Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Juz 4, 116-117.
[4] Ash-Shabuniy“Hukum Waris Islam”, 94-95.
[5] Emman
Suparman “Hukum Waris Indonesia”, 25.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Subekti, R.
Tjitrosudibio “Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata”, (jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), 227.
[9] Arto “Hukum Waris Bilateral”, 26-27.
[10] Ahmad Yusuf Muhammad Al Ahdal “I‟anatul Ath-tholib fi Bidayati Ilmi Al-Faraidl”, (Makkah:
Mathobi‟ Al Hamidl, cetakan ke-2), 59.
[11] Instruksi
Presiden R.I Nomor I Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Tahun 1999/2000), 84.
[12] Emman Suparman “Hukum Waris Indonesia”, 68.
[13] Al Ahdal “I‟anatul Ath-tholi”, 24.
Komentar
Posting Komentar