pembagian ahli waris

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Dalam al-Qur’an banyak sekali sumber- sumber dasar hukum islam baik itu sholat, zakat, haji dan lain-lain, dalam al-qur’an juga memuat hukum / mengatur hukum tentang pembagian harta bagi ahli waris. Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam pasal 173.
Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal 173 telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati dan ada juga yang hubungannya lebih jauh dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris karena dari garis keturunan perempuan (dzawil arham). Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu: hubungan kewarisan yang timbul karena sebab
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian harta kepada ahli waris inti ?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa tahu Pembagian harta pada ahli waris inti?


a.       

BAB II
Pembahasan

A.       Bagian Ayah Dalam Hukum Waris

 

1.    Besar Bagian Ayah Menurut Fiqh Mawaris/Fara’idl

Secara etimologi kata farâidl yang sebagai jamak dari lafad farîdlah yang berarti perlu atau wajib dengan makna maf‟ul (objek), yang berarti sesuatu yang ditentukan jumlahnya. Menurut istilah disebutkan “hak-hak kewarisan yang dijumlahkannya telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi”[1].
Hak-hak ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya dinyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti, yang   dinyatakan   dalam    al-Qur‟an,   sebagai   sumber   utama Hukum Kewarisan Islam. Para ulama menamakan hukum tentang pembagian warisan dengan farâidl karena menurut angka yang pasti biasanya disebut dalm kitab-kitab dengan farîdlah dengan bentuk jama farâidl”. Bila ahli waris tidak termasuk dalam angka tersebut maka jumlah mereka tidaklah banyak[2].
Dalil bahwasanya ayah mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki). Allah berfirman:

Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. (QS. An-Nisaa‟ (4) ayat 11).[3]

Ayah    mendapat    „ashabah   apabila    tidak   ada    far‟ul     warits
berdasarkan firman Allah:

dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya  (saja),  Maka  ibunya  mendapat  sepertiga.  (QS.  An-Nisaa (4): 11).70

Ayat di atas menetapkan bagian ibu dan ayah ketika ada anak mayat, yaitu 1/6. Dan jika tidak ada anak, maka seluruh harta menjadi milik ibu-ayah. Ayat di atas menyebut bagian ibu 1/3, tetapi tidak menyebut bagian ayah, maka dapat kita fahami bahwa sisanya (2/3) adalah bagian ayah. Oleh karena itu ia mewarisinya sebagai „ashabah.[4]

2.        Besar Bagian Ayah Menurut BW


Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.[5]
Menurut Pitlo yang dikutip oleh Suparman menggambarkan rumusan hukum waris, bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu:
“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karna wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.”[6]

Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.[7]
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang  menjadi ahli waris, yaitu: istri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan yaitu:
a.     Golongan pertama, keluarga dari garis lurus ke bawah, meliputi anak- anak beserta keturunan mereka beserta suami atau istri yang ditinggalkan/atau yang hidup paling lama. Suami atau istri yang ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/istri tidak saling mewarisi;
b.    Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewarisi bersama-sama saudara pewaris;
c.     Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d.    Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam
Sedangkan bagian ayah terdapat dalam BW pasal 854 yang berbunyi:
“Apabila seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka  mendapatkan sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau perempuan, yang mana mendapatkan sepertiga selebihnya.
Si bapak dan si ibu masing-masing mendapatkan seperempat, jika Si meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu.”[8]

3.    Besar Bagian Ayah Menurut KHI


Setiap kelompok masyarakat di dunia ini tentu mempunyai sifat kekeluargaannya sendiri yang biasanya sangat berpengaruh terhadap sifat kewarisan dalam masyarakat itu. Demikian pula pada masyarakat Islam di Indonesia di mana hukum Islam telah memberikan bimbingan tentang tata kehidupan keluarga muslim. Tata kehidupan keluarga muslim di Indonesia pada umumnya bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip keluarga yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan baik melalui jalur pria maupun wanita secara serentak. Hal ini membawa pengaruh pula terhadap kebutuhan hukum kewarisan yang bersifat bilateral. Memang antara hukum perkawinan dengan hukum kewarisan merupakan satu sistem hukum yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat mata uang dengan dua sisinya.[9]
Oleh sebab itu, hukum kewarisan Islam yang dikembangkan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hukum kewarisan yang sejalan dan serasi dengan sifat-sifat hukum perkawinan yang bersifat bilateral. Itulah sebabnya maka hukum kewarisan dalam KHI mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai berikut:
1.  Pada garis besarnya, KHI sama dengan fiqih sunny (farâidl ahlusunnah) yang selama ini diajarkan di Indonesia. Kemudian dengan fiqih sunny, yakni norma-norma syari‟ah yang terkandung dalam Al-Qur‟an  dan  Al-Sunnah  oleh  KHI  diadakan pembaharuan pola, yakni dari pola  kewarisan  patrilinial  menjadi pola kewarisan bilateral seuai dengan pola hukum kewarisan Islam yang hidup di Indonesia.
2.  Jenis dan kelompok ahli waris disederhanakan dan disesuaikan dengan struktur keluarga muslim di Indonesia yang bilateral, serta masih menggunakan istilah dzawil arham meskipun tidak disebutkan dalam KHI namun tetap diakui keberadaannya dan mereka tetap ahli waris sesuai dengan posisinya masing-masing.Berdasarkan skala prioritas untuk mewarisi, ahli waris dikelompokan menjadi empat, yaitu:
a.  Ahli waris utama (yaitu anak laki-laki dan anak perempuan, termasuk di sini ahli waris pengganti ahli waris utama, yakni cucu pewaris);
b.  Ahli waris inti (yaitu anak, ayah, ibu, dan janda/duda, termasuk di sini ialah ahli waris wasiat wajibah).
c.  Ahli waris lengkap (yaitu mereka ini ditambah saudara laki-laki dan perempuan, kakek, nenek, paman dan bibi); dan
d.  Ahli waris pengganti lainnya (yaitu kemenakan pewaris dan lain- lainnya).
3.  Berdasarkan kepastian besarnya porsi (bagian) yang diterima, ahli waris dikelompokan menjadi lima, yaitu:
a.  Ahli waris „ashabah (yaitu yang menerima bagian seluruhnya dari sisa harta warisan yang telah diambil oleh ahli waris inti atau dzawi al-furûdl).
b.  Ahli waris dzawi al-furûdl (yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an).
c.  Ahli waris dzawi al-arhâm (yaitu ahli waris yang besarnya bagian ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditetapkan dalam Al- Qur‟an dan Al-Sunnah).
d.  Ahli wais pengganti (yaitu ahli waris yang besarnya bagian ditetapkan berdasarkan hak ahli waris yang digantikan kedudukannya itu, dengan ketentuan tidak boleh melebihi besarnya dari bagian ahli waris lain yang sejajar dengan yang digantikannya itu).
e.  Ahli waris wasiat wajibah (yaitu ahli waris yang hak mewarisinya ditetapkan berdasarkan wasiat wajibah, dengan ketentuan bahwa bagian ahli waris wasiat wajibah ini tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan). Jenis ahli waris yang tidak disebutkan dalam KHI (termasuk di sini kelompok ahli waris yang dalam ilmu fiqih disebut dzawi al-arhâm) tetap diakui keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk sebagian (yakni cucu dan keponakan pewaris) ditampung sebagai ahli waris pengganti dengan penetapan yang luwes dan fleksibel.
4.  Diadakan ijtihad baru untuk menampung kebutuhan hukum dimasayarakat mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, misalnya tentang anak angkat, cucu dari anak perempuan, bagian ayah bila mewarisi bersama ibu dan suami (duda), dan sebagainya dengan mengambil dan menerapkan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah.
5.  Prinsip pembagian waris dengan menggunakan teknik „aul dan radd tetap dipertahankan dengan menerapkan radd secara mutlak kepada ahli waris dzawi al-furûdl (pasal 193 KHI).
6.  Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji ulang dan ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syari‟ah Islam sehingga dapat    membawa pembaharuan hokum kewarisan di Indonesia yang:
a.  selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,
b.  mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori ilmu hukum, administrasi dan manajemen,
c.  dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri di bawah naungan dan ridla Ilahi.
7.  Karena diyakini bahwa hukum keluarga yang hendak dituju oleh al- Qur‟an dan al-Sunnah ialah hukum keluarga yang bersifat bilateral baik dalam bidang perkawinan maupun kewarisan maka hukum kewarisan dalam KHI pun ingin memberikan arah kepada kewarisan yang bersifat bilateral sebagaimana dikehendaki oleh syari‟ah Islam.
8.  Teori hukum kewarisan bilateral yang dirintis oleh Prof. Hazairin telah banyak mempengaruhi perumusan hukum dalam KHI. Namun demikian, tidak sepenuhnya teori tersebut harus diikuti seluruhnya karena perumusan hukum kewarisan dalam KHI selalu diselaraskan dengan induknya, yaitu hukum kekeluargaan yang dianut di Indonesia.

B.        Besar Bagian Ahli Waris


a.          Anak laki-laki

Dalam fiqh anak laki-laki mendapatkan sisa harta („ashabah) jika bersama siapapun[10]. Sedangkan dalam KHI, bagian anak laki-laki tidak jauh berbeda dalam fiqh yaitu mendapatkan sisa harta („ashabah).[11]
Dan di dalam BW anak, baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan dan kedudukannya disamakan dengan istri atau suami yaitu mendapatkan setengah bagian (Pasal 852a).
Dalam keluarga yang menganut sistem patrilineal semua anak laki- laki berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. Sedangkan dalam keluarga yang menganut sistem bilateral, tidak ada perbedaan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan.[12]
b.               Anak perempuan

       Dalam fiqh anak perempuan mendapatkan setengah bagian apabila tidak bersama anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan lainnya. Jika ada anak laki-laki maka mendapatkan „ashabah dengan ketentuan 2 banding 1, jika bersama dengan anak perempuan lainnya maka mendapatkan 2/3.
Dalam KHI anak perempuan bila seorang diri mendapatkan 1/2, jika berdua atau lebih mendapatkan 2/3, dan jika bersama dengan anak laki-laki maka mendapatkan „ashabah dengan ketentuan bagian anak laki- laki adalah 2 banding 1 dengan anak perempuan (Pasal 176).
Dalam BW, besarnya bagian sama dengan anak laki-laki dan perempuan. Karena tidak ada perbedaan diantara keduanya (Pasal 852a). Sedangkan dalam keluarga yang menganut sistem bilateral tidak ada perbedaan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan.
c.                Duda

Dalam fiqh duda mendapatkan ½ apabila tidak memiliki keturunan, dan jika memilik keturunan maka ia mendapatkan 1/4 bagian[13].
Dalam KHI bagian duda sama halnya dengan bagian duda dalam fiqh yakni duda mendapatkan ½ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan duda mendapatkan ¼ bagian bila meninggalkan anak (Pasal 179).
Sedangkan dalam BW, duda mendapatkan bagian sama dengan bagian anak (Pasal 852a dan 852b). Dan dalam keluarga yang menganut sistem bilateral, duda mendapatkan 1/8 jika ada anak, dan jika tidak terdapat anak duda mendapatkan semua harta.
d.              Janda
Dalam fiqh janda atau 2 janda atau lebih mendapatkan ¼ jika tidak mempunyai keturunan. Bila ada keturunan, janda mendapatkan 1/8 bagian. Dalam KHI sama halnya dalam fiqh berdasarkan pasal 180 KHI.
Sedangkan dalam BW, janda mendapatkan bagian sama dengan bagian anak (Pasal 852a dan 852b). Dan dalam keluarga yang menganut sistem bilateral, duda mendapatkan 1/8 jika ada anak, dan jika tidak terdapat anak duda mendapatkan semua harta.
e.                Bapak

Dalam fiqh bapak mendapatkan „ashabah jika tidak ada keturunan, sedangkan jika ada keturunan laki-laki, bapak mendapatkan 1/6 bagian. Jika ada keturunan perempuan, bapak mendapatkan 1/6 dan „ashabah.
Dalam KHI bapak mendapatkan 1/3 bagian bila pewaris tidak medapatkan anak akan tetapi meninggalkan suami dan ibu. Dan apabila ada anak bapak mendapatkan 1/6 bagian (Pasal 177).
Dalam BW, bapak dan ibu mendapatkan 1/3 jika tidak ada anak, maupun suami atau istri dan hanya ada saudara laki-laki atau perempuan. Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka bapak dan ibu mendapatkan ¼ bagian (Pasal 854 dan 855) Sedangkan jika seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan, maupun suami atau istri, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau si bapak mendapatkan ½ dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan atau laki-laki, mendapatkan 1/3 bagian jika meninggalkan dua saudara laki-laki atau perempuan, dan mendapatkan ¼ bagian jika lebih dari saudara laki-laki atau perempuan (Pasal 855 BW). bapak atau ibu yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta jika tidak da keturunan, suami/istri dan saudara (pasal 859 BW).
Dalam sistem patrilineal, bapak mendapatkan seluruh harta warisan bersama ibu dan saudara-saudara sekandung jika tidak ada anak laki-laki atau anak angkat.
f.                 Ibu
Dalam fiqh ibu mendapatkan 1/3 bagian jika tidak ada keturunan dan tidak ada dua saudara atau lebih baik kandung, seayah maupun seibu. Jika ada salah satu dari dua hal tersebut maka ibu mendapatkan 1/6 bagian, kecuali jika ibu bersama bapak dan suami atau istri maka ibu mendapatkan 1/3 sisa.
Dalam KHI ibu mendapatkan 1/6 bagian jika ada anak atau dua saudara/lebih. Bila tidak ada maka ibu mendapatkan 1/3 bagian. Ibu mendapatkan 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah (Pasal 178).
Dalam BW, bapak dan ibu mendapatkan 1/3 jika tidak ada anak, maupun suami atau istri dan hanya ada saudara laki-laki atau perempuan. Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka bapak dan ibu mendapatkan ¼ bagian (Pasal 854 dan 855). Sedangkan jika seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan, maupun suami atau istri, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau si bapak mendapatkan ½ dari warisan jika Si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan atau laki-laki, mendapatkan 1/3 bagian jika meninggalkan dua saudara laki-laki atau perempuan, dan mendapatkan ¼ bagian jika lebih dari saudara laki-laki atau perempuan (Pasal 855 BW). bapak atau ibu yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta jika tidak da keturunan, suami/istri dan saudara (pasal 859 BW).
Dalam sistem patrilineal, ibu baru mendapatkan seluruh harta warisan bersama bapak dan saudara-saudara sekandung jika tidak ada anak laki-laki atau anak angkat.



BAB III
Penutup
A.     Kesimpulan

Dengan adanya ilmu waris /Faroid dalam agama islam dapat memudahkan kita membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris terdekat atau ahli waris inti, dalam ilmu waris juga terdapat bagian- bagian terhadap semuah ahli waris inti terhadap kerabat yang di tinggalkan. Oleh karena harus di lihat terlebih dahulu status- status yang di sandang oleh ahli waris inti apakan sang ahli waris memiliki anak ataukah tidak, Dikarenakan status  juga mempengaruhi dalam pembagiannya.
B.     Saran
Terhadap para cendekiawan yang membaca makalah fiqih mawaris ini apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam makalah ini kami selaku peulis memohon maaf, Demikianlah makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada kekeliruan dalam penyusunan kami mohon kritik dan saran yang membangun, supaya lebih baik kedepannya.




Daftar Pustaka

Emman Suparman “Hukum Waris Indonesia”,Bandung:Refika Aditama, 2018       
Ahmad Yusuf Muhammad Al Ahdal I‟anatul Ath-tholib fi Bidayati Ilmi Al-Faraidl, (Makkah: Mathobi Al Hamidl, cetakan ke-2).
Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Tahun 1999/2000).
Subekti, R. Tjitrosudibio “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, (jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004),
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata “Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997).
Al-Quran dan Terjemahannya. Juz 4; SYAMIL QUR’AN, Bandung; 2007



[1]Suparman Usman dan Yusuf Somawinata “Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 13.
[2] Somawinata “Fiqh Mawaris”
[3] Al-Quran dan Terjemahannya. Juz 4, 116-117.
[4] Ash-Shabuniy“Hukum Waris Islam”, 94-95.
[5] Emman Suparman “Hukum Waris Indonesia”, 25.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Subekti, R. Tjitrosudibio “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, (jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), 227.
[9] Arto “Hukum Waris Bilateral”, 26-27.
[10] Ahmad Yusuf Muhammad Al Ahdal I‟anatul Ath-tholib fi Bidayati Ilmi Al-Faraidl, (Makkah: Mathobi Al Hamidl, cetakan ke-2), 59.
[11] Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Tahun 1999/2000), 84.
[12] Emman  Suparman “Hukum Waris Indonesia”, 68.
[13] Al Ahdal “I‟anatul Ath-tholi”, 24.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tentang sedekah infaq wakaf dan wasiat

makalah haji dan tata caranya