ahli waris yang terhalang
Dalam pembagian waris yang sesuai Islam
ada beberapa aturan yang salah satunya adalah tentang hijab mahjub. Prinsip
hijab mahjub adalah mengutamakan atau mendahulukan kerabat yang mempunyai jarak
lebih dekat dari pada orang lain dengan yang mewarisi.
Keutamaan dapat disebabkan oleh jarak
yang lebih dekat kepada pewaris dibandingkan dengan orang lain, seperti anak
lebih dekat dari cucu dan oleh karenanya lebih utama dari cucu dalam arti
selama anak masih ada, cucu belum dapat menerima hak kewarisan.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh
kuatnya hubungan kekerabatan seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya
dibandingkan saudara seayah atau seibu saja, karena hubungan saudara kandung
melalui dua jalur (ayah dan ibu), sedangkan yang seayah atau seibu hanya satu
jalur.
Adanya perbedaan dalam tingkat
kekerabatan itu diakui oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Anfal : 75
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Artinya : Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesama didalam kitab Allah
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dinamakan
hijab dan mahjub ?
2.
Ada berapa pembagian hijab ?
3.
Siapa saja ahli waris
yang tidak bisa terhijab ?
C. Tujuan
1.
Agar mahasiswa bisa
memahami tentang hijab dan mahjub
2.
Agar mahasiswa
mengetahui tentang pembagian hijab.
3.
Agar mahasiswa mengetahui
tentang ahli waris yang tidak bisa terhijab.
BAB I1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hijab dan Mahjub
Al-hajb wasfi berarti orang yang terkena
hajb tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, atau hak
waris mereka menjadi gugur. Pada dasarnya mereka yang termasuk ahli waris
adalah berupa “status” diri seseorang, baik karena tindakan sesuatu taupun
karena keberadaanya dalam posisi tertentu sehingga berakibat jatuhnya hak
mereka untuk mewarisi.
Sedangkan menurut ulama’ mawaris (faraid)
ialah mencegah dan menghalangi orang-orang tertentu dalam menerima seluruh
pusaka semuanya ataupun sebagainya karena ada seseorang lain atau hijab.
Hijab secara harfiyah berarti satir,
penutup atau penghalang. Dalam fiqih mawaris, istilah hijab digunakan
untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya yang kadang-kadang
atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang
menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang
disebut mahjub. Keadaan menghalangi disebut hijab.
Adapun pengertian al-hujub menurut
kalangan ulama fara’idh adalah menggugurkan hak ahli waris
untuk menerima waris, baik secara keseluruhan atau sebagian saja disebabkan
adanya orang yang lebih berhak menerimanya.
Dengan pengertian di atas maka dapat dipahami
bahwa dalam bab hijab ini tercegahnya seseorang dari mendapatkan warisan bukan
karena adanya sebab-sebab yang menghalanginya mendapat warisan sebagaimana
disebutkan pada bab Penghalang Warisan, namun dikarenakan adanya ahli waris
yang lebih dekat posisinya dengan si mayit.[1]
Jadi sesungguhnya ahli waris yang terhalang (mahjub) ini memiliki hak untuk
mendapatkan harta waris si mayit, hanya saja karena ada ahli waris yang lebih
dekat ke mayit dari pada dirinya maka ia terhalang haknya untuk mendapatkan
warisan tersebut. Bila orang yang terhalang ini disebut dengan “mahjub” maka
ahli waris yang menghalangi disebut dengan “hajib”.
B. Macam-macam hijab
1.
Hijab hirman (hijab penuh)
Yaitu penghalang yang menyebabkan seorang
ahli waris yang lain. Dengan kata lain tertutupnya hak warisan seorang ahli
waris secara menyeluruh, dengan arti ia tidak mendapat apa-apa disebabkan
adanya ahli waris yang lebih kepada pewaris dari pada dirinya. Ahli waris yang
dapat terhijab secra penuh itu ialah ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan
suami atau istri. Kelima ahli waris ini tidak akan terhijab secara penuh.
Sedangkan suami dan istri tidak pernah menghijab siapun diantara ahli waris.[2]
Tentang anak perempuan dan ibu menurut
jumhur ahli sunnah tidak dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh.
Ulama golongan syi’ah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam
menghijab. Dalam arti keduanya dapat menghijab ahli waris lain secara hijab
penuh sebagaimana yang berlaku terhadap anak laki-laki dan ayah.
2.
Hijab nuqsan (hijab kurang)
Yaitu penghalang yang menyebabkan
berkurangnya bagian seorang ahli waris, dengan kata lain berkurangnya bagian
yang semestianya diterima oleh seorang ahli waris lain.[3]
Ketentuan hijab nuqsan ini data terlihat secara nyata dalam Al-Qur’an surah
An-Nisa 11-12 :
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِۚ فَإِنْ كُنَّ نِّسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَإِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗ أَبَوٰهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَإِنْ كَانَ لَهٗ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَا أَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْم
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَّلَهٗ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَإِنْ كَانُوْا أَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَا أَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَارٍّۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌ ۗ١٢ً
Artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan)
kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.-* Dan jika anak itu semua
perempuan yang berjumlah lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan
dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.
Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana.12. Dan bagianmu (suami-suami) adalah dua seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan
setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian
yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).Demikianlah
ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”
Secara unum dapat dikatakan bahwa setip
ahli waris yang berhak dapat terkena hijab nuqsan, namun tidak semua ahli waris
dapat menghijab ahli waris dapat menghijab ahli waris lainya secara hijab
nuqsan.[4] Tentang
siapa-siapa yang dapat terhijab nuqsan dan menghijab nuqsan serta berapa
penguranganya adalah sebagai berikut :
a. Anak
laki-laki atau cucu laki-laki
-
Ibu dari 1/3
menjadi 1/6
-
Suami dari ½ menjadi ¼
-
Istri ¼ menjadi
1/8
-
Ayah dari seluruh
atau sisa harta menjadi 1/6
-
Kakek dari seluruh
atau sisa harta menjadi 1/6
b. Anak
perempuan
-
Ibu dari 1/3 menjadi
1/6
-
Suami dari dari ½
menjadi ¼
-
Istri ¼ menjadi
1/8
-
Bila anak
perempuan seorang maka cucu perempuan dari ½ menjadi ¼
c. Cucu
perempuan
-
Ibu dari 1/3
menjadi 1/6
-
Suami dari ½
menjadi ¼
-
Istri ¼ menjadi
1/8
d. Beberapa
orang saudara dalam segala bentuknya mengurangi hak ibu dari 1/3 menjadi 1/6
e. Saudara
perempuan kandung dalam kasus ini hanya seorang diri dan tidak bersama anak
atau saudara laki-laki, maka ia mengurangi hak saudara perempuann seayah dari ½
menjadi 1/6 .
C. Ahli waris yang tidak dapat terhijab
1.
Anak laki-laki
Anak laki-laki itu tidak memiliki bagian
yang tertentu (fard) dalam pembagian warisan orang tuanya, ia menempati posisi
‘Asabah’.[5]
Terkadang mengambil semuanya, terkadang mengambil sisa, tetapi tidak mungkin
tidak dapat bagian. Perolehan warisanya sebagai berikut :
a. Jika
ia mewarisi sendirian, ia mengambil semua (anak laki-laki 100%)
b. Jika
ia berdua dengan saudara laki=laki atau lebih, berbagi rata 1/3 (anak laki-laki
1,2,3)
c. Jika
ia bersama saudara perempuan, ia dapat dua bagian, dan seseorang saudara
perempuan mendapat satu bagian (anak laki-laki 2/3, anak perempuan 1/3)
d. Jika
ada ahli waris lain, maka ia dapat sisa (‘Asabah), sisadi bagi seperti pada
poin 1,2,3 ( bapak ¼, anak laki-laki ½, anak perempuan ¼)
Kemudian hijab dan mahjub (menghalangi dan
dihalangi) diantara ahli waris , jika ada anak laki-laki, maka yang mahjub
(terhalang) tak dapat bagian adalah semua ahli waris kecuali ibu, bapak, suami
atau istri, kakek, nenek (ibunya bapak), nenek (ibunya ibu).[6]
Alasan laki-laki mendapat dua kali bagian
perempuan bahwa dalam al-qur’an dan hadits sudah menjelaskan mengenai pembagian
waris antara anak laki-laki dan perempuan yang berbeda, dan kini banyak alasan
ilmiah dan rasio terkait hal tersebut yang, pertama, alasan dari Allah
dan RasulNya, didalam membuat perintah kepada manusia, terkadang allah
menyertai alsa-alasanya, terkadang tidak disertai lasan. Kedua, alasan
manusiawi, kemudin manusia yang dianugerahi akal mencoba menerik kesimpulan
dari bebrapa indikator, segingga terkumpulah sekian banyak alasan yang dianggap
syar’i contohnya, tanggung jawab perekonomian dipikul oleh laki-laki, sebelum
seorang menikah, menjadi tugas ayah dan saudara laki-laki menanggung akomodasi,
rumah, pakaian dan berbagai kebutuhan keuangan seorang perempun lain, setelah
seorang perempuan menikah tugas itu menjadi tanggung jawab laki-laki atau
suami, istri tidak diwajibkan menafkai anak dan suaminya bahkan dirinya seniri
karena menjadi tanggung jawab laki-laki.
2. Anak peremuan
Bersama anak laki-laki ia menjadi ‘Asabah
(mengambil sisa) perolehan warisnya.
a. Jika
ia menjadi ahli waris sendirian bagianya ½
b. Jika
ia berdua atau lebih dengan sesama anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki,
maka bagianya 2/3 dibagi rata. (anak perempuan pertama 1/3, anak perempuan
kedua 1/3).
c. Jika
ahli waris hanya anak laki-laki dan beberapa anak peremouan, maka anak
laki-laki mendapat 2 kali bagian stiap anak perempuan (anak laki-laki ½, anak
perempuan pertama 1/4., anak perempuan kedua 1,4)
d. Jika
ada ahli waris lain selain anak laki-laki dan perempuan , maka anak laki-laki
menjadi ‘Asabah (sisa) dengan komposisi 2:1 (bapak ¼, anak laki-laki ½, anak
perempuan ¼)
Hijab dan mahjub (menghalangi dan
dihalangi ialah anak perempuan hanya mampu menghalangi saudara seibu, dua orang
anak perempuan atau lebih mampu menghalangi cucu perempuan ada cucu laki-laki
(dari anak laki-laki), mereka menjadi ‘Asabah. Sementara ahli waris lain tidak
terhalangi oleh anak perempuan,hanya ada yang menjadi kurang bagianya dengan
adanya anak perempuan, yakni ibu dan bapak.
[1] Sarjid, Sulaiman, Fiqih Islam
bandung : Sinar Baru Algensindo, 2016
[2]
Zainuddin, Terjemah Fathul
Mu’in, bandung : Sinar Baru Algensindo, 2014
[3] Rofiq, Ahmad, fiqih Mawaris,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[4]
Syarkun, Syuhada, Menguasai
Ilmu Faraidh, Jakarta: pustaka Syarkun, 2012
[6] Lubis Suhrawardi K, dan Komis
Simanjuntak, Hukum waris Islam, Jakarta: Sinar Garfika
Komentar
Posting Komentar